Selamat datang di Pusat Informasi Kehutanan

Eksploitasi Hutan Mengancam Keberadaan Hutan dan Masyarakat Adat Jabar

0 komentar

Berkurangnya luas hutan dan populasi satwa liar membuat para peserta Konferensi Anak-anak dan Remaja Internasional Tunza (Tunza International Children and Youth Conference) 2011 bertekad untuk tetap menjaga hutan dan satwanya.

Shawa Adolfh (9) dari Spanyol mengatakan, dirinya merasa miris ketika menyaksikan eksplorasi hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.

"Kerusakan hutan akibat eksplorasi tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Ini harus segera dihentikan. Karena kerusakan hutan akan berdampak pada kelestarian satwa liarnya. Kita harus tetap menjaganya," tutur Shawa saat ditemui seusai mengikuti diskusi "Children Plenary Session" untuk peserta anak-anak di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Institut Teknologi Bandung (ITB), Kamis (29/9).

Hal yang sama diungkapkan peserta dari Indonesia. Berlian Najela Murtadho (11) menuturkan, Indonesia sebagai paru-paru dunia seharusnya menjadi contoh negara lain untuk tetap melestarikan hutan. Begitu juga satwa liarnya. Namun hal itu bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Luas hutan dan satwa liar di Indonesia terus berkurang akibat kepentingan pribadi. Dirinya juga miris saat mendengar berita di media massa tentang maraknya aksi pembalakan liar, baik yang dilakukan perusahaan maupun pribadi.

"Kita lihat saja di berbagai provinsi di Indonesia. Seperti Kalimantan, Jawa Barat, dan Sumatra. Luas hutan terus berkurang. Sama halnya dengan satwa liar. Sekarang sudah sulit menemukan Harimau sumatra. Padahal itu dapat menjadi salah satu bahan pembelajaran untuk generasi muda," ujarnya.

Berbeda dengan luas hutan di Indonesia, Andreana Schmitovic (10) berusaha untuk tetap mengampanyekan gerakan peduli lingkungan dengan mengajak teman-temannya turut andil menanam pohon. Dia menjelaskan, di negaranya Guatemala, dengan luas 108.809 km2, sedikitnya 5,2 pohon telah ditanam untuk menjaga kelestarian lingkungan. Pohon yang ditanam itu merupakan hasil kerja sama antarpemerintah, organisasi lingkungan, dan sekolah-sekolah di negara tempat ia tinggal.

"Kerusakan hutan yang terjadi memang harus dihentikan. Tapi tindakan kita selanjutnya yaitu mengembalikan kelestarian hutan beserta satwa liar. Itu yang harus kita pikirkan bersama," ujar Andreanna.

Leon (9), warga Kenya mengatakan, di negaranya masih belum tercipta hal seperti di Guatemala. Tapi dari hasil konferensi ini, dirinya akan terus berusaha mengajak keluarga dan teman-temannya untuk belajar dari pengalaman yang dilakukan Andreana.

"Konferensi ini merupakan pengalaman pertama saya. Dari konferensi ini saya akan mengungkapkan keinginan saya untuk mengajak seluruh umat manusia di dunia untuk menjaga hutan. Saya ingin di kemudian hari, saya tetap bisa menikmati indahnya hutan dan sejuknya udara di Kenya," tuturnya optimistis.

Keberadaan hutan adat di Jawa Barat (Jabar) tidak mendapat jaminan hukum yang pasti dari negara untuk dikelola masyarakat adat. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan sumber penghidupan dan hutan adat pun terancam kelestariannya karena aktivitas pertambangan dan pembangunan sarana komersil.

Demikian kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Dadan Ramdan dalam diksusi publik "Membangun Konsepsi Hutan Kelolal Rakyat Di Jawa Barat" di Wisma Bumi Kitri, Jalan Cikutra, Selasa (9/4/13).

"Seperti masyarakat Kesepuhan di Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak terancam kehilangan sumber penghidupan karena perluasan konservasi taman nasional. Kita sepakat dengan konservasi alam, namun akses rakyat untuk mengelola hutan dan merawatnya tetap harus diperbolehkan," ujarnya.

Dalam praktiknya, tutur Dadan, perluasan lahan konservasi justru mematikan mata pencaharian masyarakat tradisi dan membuka luas masuknya para pemodal yang mengeksploitasi alam. "Masuk ke dalam lahan konseravsi saja masyarakat adat tak diperbolehkan," katanya.

Lebih lanjut, Dadan mengungkapkan izin tambang, pariwisata, serta vila dibuka oleh balai taman nasional dengan izin Kementerian Kehutanan. "Contohnya di Taman Nasional Kawasan Gunung Halimun Salak, di mana sarana komersil serta pertambangan, gas berada kawasan konservasi sementara masyarakat adat sendiri tak memperoleh pengakuan. Keberadaan lahan pertambangan juga dikhawatirkan mengubah budaya kerja masyarakat sekitar untuk ikut menambang sehingga semakin merusak alam," tuturnya.

"Di daerah Cisolok Kabupaten Sukabumi, Lebak Banten dan Pongkor yang masih termasuk Kawasan Gunung Halimun Salak ditambang untuk diambil menjadi emas, galena dan panas bumi," tambah Dadan.

Selain itu, masyarakat adat di Kasepuhan Cipatagelar, Ciptarasa, Cipta Mulia, serta Sinar Resmi di sekitar lokasi penambangan juga rentan dikriminalisasi. (A-201/A_88)
Share this article :
 
Support : PT Fin Komodo Teknologi | Creating Website | Dewa Yuniardi | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2012 - 2015. Kehutanan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger