Berhubung Indonesia termasuk kedalam wilayah tropis, maka sedikitnya
ada tiga prinsip persyaratan ekologis pengelolaan ekosistem hutan dengan
multisistem silvikultur, yaitu:
(1) Meminimasi gangguan terhadap tanah
Kondisi iklim daerah tropis yang kondusif untuk pertumbuhan dan
perkembangan berbagai jenis mikroorganisme tanah menyebabkan proses
pelapukan serasah berjalan secara terus-menerus dengan laju yang cukup
tinggi untuk menghasilkan bahan organik tanah yang selanjutnya berubah
menjadi unsur hara bagi tumbuhan melalui proses mineralisasi. Kondisi
tanah tersebut bersifat fragil terhadap gangguan
pengurangan/penghilangan tutupan vegetasi, karena kalau tutupan vegetasi
berkurang signifikan atau hilang sama sekali (misal karena deforestasi atau kebakaran) maka bahan organik tanah, terutama humus, akan cepat hilang terbawa surface run-off
air hujan, sehingga secara perlahan-lahan tanah menjadi miskin hara.
Oleh karena itu, dalam upaya pengolahan lahan, gangguan terhadap
struktur tanah harus diusahakan seminimal mungkin untuk menghindari
kehilangan unsur hara (nutrient) akibat surface run-off. Upaya pengolahan lahan dengan cara minimum tillage, manual clearing
dan penggunaan herbisida dalam persiapan lahan menyebabkan sedikitnya
kehilangan unsur hara dari tanah, sehingga menunjang upaya konservasi
unsur hara pada tanah hutan yang bersangkutan (Jordan, 1985; Vitousek
dan Matson, 1984; Lal, 1981 b).
(2) Memelihara ketersediaan bahan organik tanah.
Semua upaya peningkatan produktivitas lahan pada prinsipnya merupakan
upaya meningkatkan jumlah persediaan bahan organik tanah. Bahan Organik
Tanah (BOT) merupakan natural slow-release fertilizer yang berperan sebagai reservoar penyimpan nutrient dan beragam komunitas mikroba aktif. Mikroorganisme tersebut sangat penting dalam mencegah kehilangan nutrient dan memasok nutrient terhadap tanaman, karena aktivitas mikroba menghasilkan nutrient secara perlahan (sedikit demi sedikit) tapi kontinyu dalam bentuk yang dapat diserap tanaman (soluble form).
Dengan demikian metoda pengolahan lahan yang harus diterapkan adalah
metoda yang membiarkan ekosistem di bawah tanah tidak terganggu atau
metoda yang memungkinkan cepat pulihnya ekosistem di bawah tanah dari
gangguan. Sehubungan dengan ini, Wade dan Sanched (1983) menyarankan
penggunaan mulsa (mulching) dan pupuk hijau (green manure) sebagai pengganti penggunaan pupuk inorganik dalam budidaya pertanian intensif di daerah tropis sebagai upaya mengkonservasi nutrient.
(3) Mempertahankan Keanekaragaman.
Suatu komunitas tumbuhan yang secara struktural mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi atau suatu komunitas yang bersifat polyculture akan memperlihatkan fenomena ”overyielding” bila dibandingkan dengan komunitas monoculture. Beberapa kelebihan polyculture tersebut adalah sebagai berikut:
a). Secara struktural komunitas tumbuhan dengan jenis beragam atau polyculture dapat memanfaatkan energi cahaya matahari lebih besar daripada komunitas monoculture karena kompleksnya susunan jarak dan tata daun dari masyarakat tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
b). Keanekaragaman jenis membatasi pertumbuhan secara eksponensial
dari populasi serangga herbivora karena secara spasial tanaman inang
terpisah satu sama lain dan habitat yang beragam mendukung populasi
predator yang beragam dalam jumlah yang relatif lebih besar. Selain itu
dalam suatu polyculture umumnya hadir jenis-jenis tumbuhan yang
bersifat alelophatik yang mengeluarkan zat-zat allelokimia yang
bersifat racun bagi beberapa jenis serangga herbivora dan gulma.
c). Keberadaan banyak jenis tumbuhan dalam suatu komunitas akan menjamin permukaan tanah tertutup vegetasi sepanjang waktu.
d). Suatu komunitas polyculture akan mempunyai produksi primer yang relatif besar karena adanya interaksi mutualistik diantara species yang ada.
e). Kehadiran beragam jenis pohon pada komunitas polyculture
akan memperkaya unsur hara topsoil dengan unsur-unsur hara yang
dibebaskan oleh pelapukan batuan induk dan bahan organik yang terpendam
di tanah yang cukup dalam melalui penyerapan unsur hara tersebut oleh
akar-akar tunjang yang menembus kedalam tanah tersebut. Proses pengayaan
unsur hara dari top-soil tersebut terjadi melalui guguran serasah pohon
yang bersangkutan ke permukaan tanah.
f). Beragam jenis tumbuhan pada komunitas polyculture akan
mempunyai sistem perakaran yang kompleks yang berkembang baik di dalam
tanah dengan kedalaman yang berbeda-beda. Sistem perakaran tersebut
umumnya mengandung proporsi akar halus (yang berperan menyerap unsur
hara) yang relatif besar dan akar tanaman dari berbagai kelas ukuran
yang efektif untuk mencegah terjadinya longsor dan erosi. Selain itu,
sistem perakaran tersebut memungkinkan penyerapan unsur hara dari
seluruh horizon tanah yang ada.
(4) Ukuran dan bentuk areal yang diganggu.
Di daerah tropika, pembersihan lahan atau pemanenan hutan dalam
ukuran yang relatif kecil yang tersebar didalam suatu hamparan hutan
atau hamparan kanopi vegetasi yang padat atau pemanenan hutan dalam
bentuk strip (jalur) menyebabkan berkurangnya erosi dan kehilangan unsur
hara, akibat surface run-off. Selain itu, vegetasi pada jalur
yang tidak ditebang akan menangkap unsur hara yang tercuci, sehingga
secara keseluruhan kehilangan unsur hara dari ekosistem tersebut menjadi
relatif kecil (Jordan, 1985). Apabila pada daerah hulu sungai dilakukan
penebangan hutan atau bentuk pemanfaatan lahan lainnya, maka
pembangunan hutan sepanjang sungai atau saluran air yang ada merupakan
suatu keharusan untuk upaya konservasi unsur hara. Adapun keharusan
relatif kecilnya areal hutan yang diganggu (ditebang), baik oleh praktek
penebangan maupun pemanfaatan lain, akan memberikan peluang pada
komunitas tumbuhan untuk cepat pulih dari gangguan dan memungkinkan
penyebaran benih (biji) dan propagul mikoriza oleh burung dan mamalia ke
areal yang terganggu (Jonson, 1983).