Pembangunan hutan dapat menjaga keseimbangan air jika pembangunan hutan dilaksanakan secara bijaksana dengan memperhatikan :
1. Jenis pohon yang ditanam disesuaikan antara tingkat transpirasi
jenis tersebut dengan jumlah curah hujan areal penanaman. Misalnya jika
jenis yang ditanam mempunyai evapotranpirasi sebesar 3000 mm/th, maka
jenis tersebut hanya dapat ditanam pada daerah dengan curah hujan >
3000 mm/th, karena jika ditanam pada daerah dengan curah hujan < 3000
mm/th, maka daerah tersebut akan mengalami defisit air.
2. Penanaman hutan sebaiknya menciptakan strata tajuk, paling tidak
ada dua strata, yaitu strata kanopi pohon dan strata tumbuhan penutup
tanah. Dengan kombinasi bentuk daun yang runcing dan sempit serta dengan
adanya strata tajuk tersebut dapat memperkecil massa dan kecepatan
butir air hujan yang jatuh ke lantai hutan. Jika lantai hutan penuh
dengan tumbuhan penutup tanah, serasah dan humus, maka pembangunan hutan
tersebut dapat mengurangi aliran permukaan (air larian) dan dapat
meningkatkan infiltrasi air (suplesi air). Dengan berkurangnya air
larian dan meningkatnya suplesi air maka pembangunan hutan dapat
mengurangi bahaya banjirdan erosi serta meningkatkan airsimpanan (air
tanah).
Pada lahan kritis atau tanah kosong (tidak bervegetasi) air menguap
dari permukaan tanah dan diganti oleh air dari bawahnya, laju penguapan
lebih tinggi daripada laju naiknya air, sehingga tanah cepat kering dan
laju penguapan menurun. Tanah kosong yang ditutupi serasah, laju
penguapannya lebih kecil karena serasah menghalangi penguapan air. Namun
pada tanah berhutan, lengas tanah diserap oleh perakaran dibawa ke
daun, karena permukaan daun yang luas dan perakaran yang ekstensif
sehingga laju penyerapan dan penguapan air lebih besar dibandingkan
dengan tanah kosong dan tanah kosong yang ditutupi serasah.
Hutan juga menahan air hujan yang jatuh, air hujan yang jatuh
tertahan oleh tajuk (intersepsi), air intersepsi menguap kembali ke
udara. Pada hujan yang tidak lebat seluruh air hujan dapat
diintersepsi., makin besar tajuk dan biomassa makin banyak air hujan
yang diintersepsi. Banyaknya hujan yang dintersepsi bervariasi 10-40 %
(Soemarwoto, 1991). Setelah tajuk hutan jenuh air, baru air hujan jatuh
atau menetes dari tajuk sebagai air lolosan.
Sebagian hujan mengalir melalui batang (aliran batang) dan
selanjutnya mengalir ke tanah. Aliran batang dan air lolosan akhirnya
sampai lantai hutan sebagai curahan atau presipitasi. Air di lantai
hutan diserap serasah dan humus (intersepsi serasah). Setelah serasah
jenuh dengan air, sebagian air akan mengalir di atas permukaan tanah
sebagai air larian. Sebagian air meresap ke tanah mengisi lengas tanah
menjadi air simpanan, pengisian air simpanan disebut suplesi. Suplesi
diperbesar/dipermudah kalau ada serasah (ada intersepsi oleh serasah)
karena tanah menjadi gembur akibat aktivitas makhluk hidup tanah. Makin
besar suplesi, maka makin kecil, baik air larian maupun aliran air
sungai. Pembuangan serasah dapat meningkatkan air larian sebesar 4 %
(Soemarwoto, 1991).
Air simpanan adalah sumber untuk aliran air dalam jangka panjang,
sebagian keluar melalui mata air dan menambah aliran air. Hutan dapat
pula mengurangi air simpanan melalui evapotranspirasi, sehingga hutan
mempunyai dua pengaruh yang berlawanan terhadap besarnya aliran dasar.
Hutan dapat meningkatkan suplesi air, tetapi hutan juga mengurangi air
simpanan karena evapotranspirasi, hal ini sangat terasa pada musim
kemarau.
Di AS, konversi hutan campuran berdaun lebar menjadi hutan Pinus
telah menyebabkan penurunan aliran air, yaitu pada umur 23 tahun Hutan
tersebut menurunkan aliran air 20 – 25 cm atau 20 % aliran air sebelum
konversi (Soemarwoto, 1991). Umumnya pembangunan hutan menambah aliran
air pada waktu hutan masih muda, setelah dewasa pengaruh tersebut
menurun. Konversi hutan untuk pemukiman dan industri serta jalan
mengakibatkan peresapan (suplesi) air menurun, sehingga air larian dan
aliran air meningkat, sehingga volume air simpanan menurun, kapasitas
mata air menurun dan aliran dasar akan menurun (bahkan mengering)
akibatnya sungai dari parennial (mengalir tahunan) menjadi sungai
periodik (musiman). Sumur pun tidak dapat diandalkan terutama musim
kemarau.
Pada reboisasi dan penghijauan lahan kritis menjadi hutan yang
berhasil, maka laju evapotranspirasi dan suplesi air simpanan akan
meningkat. Reboisasi dan penghijauan yang berhasil akan menaikkan
peresapan air, sehingga air simpanan naik untuk memasok mata air dan
sumur, walaupun sebenarnya aliran air total berkurang karena naiknya
laju intersepsi dan evapotranspirasi. Jika pembangunan hutan menggunakan
dengan jenis yang mempunyai evapotranspirasi yang tidak cocok tidak
akan meningkatkan air simpanan karena air simpanan habis terpakai oleh
evapotranspirasi. Transpirasi selain tergantung pada jenis tumbuhan juga
tergantung pada tingkat kesuburan tanah, semakin subur tanah semakin
tinggi laju transpirasi.
Dalam suatu DAS, indikasi DAS yang rusak adalah jika aliran
maksimumnya (Qmaks) besar dan aliran minimumnya (Qmin) kecil, sehingga
nisbah Qmaks/Qmin besar. Sebagai contoh Soemarwoto (1991) melaporkan DAS
Citanduy mempunyai nisbah Qmaks/Qmin dari 813:1 tahun 1968 menjadi 27:1
tahun 1983, jadi reboisasi berhasil, tetapi aliran air tahunan turun
drastis dari 9.300 juta m3 tahun 1968 menjadi 3.500 m3
tahun 1983. DAS Citarum tahun 1919-1923 rata-rata 47 % CH nya menjadi
aliran air dan pada 1970-1975 meningkat menjadi 52 %, aliran air naik
karena luas hutan menurun sekitar 33 % tahun 1960.