Selamat datang di Pusat Informasi Kehutanan

Fungsi Fisik dari Ekosistem Mangrove

0 komentar


(1). Mengendalikan abrasi pantai
Pengendalian abrasi pantai oleh ekosistem mangrove terjadi melalui mekanisme pemecahan energi kinetik gelombang air laut dan pengurangan jangkauan air pasang ke daratan, seperti telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Suryana (1998) di pantai utara pulau Jawa yang mana abrasi pantai relatif tidak terjadi pada lokasi yang ditumbuhi mangrove dengan lebar ³ 100 m

(2). Mengurangi tiupan angin kencang dan terjangan gelombang laut
Keberadaan tegakan mangrove secara signifikan dapat mengurangi kecepatan tiupan angin dan kecepatan arus gelombang air laut (Aksornkoae, 1993).  Dalam hal ini Suryana (1998) melaporkan bahwa daya jangkauan air pasang berkurang sampai lebih dari 60 % pada lokasi dengan lebar hutan mangrove ³ 100 m.

Hasil pengujian model di laboratorium oleh Puslitbang PU (1996) seperti yang dikutip oleh Istianto, Utomo dan Suranto (2003) menginformasikan bahwa adanya pengurangan limpasan sebesar 2 % – 5% pada  model setara dengan rumpun prototipe yang memiliki diameter pohon 50 cm dan jarak antara 2.5 m.   Selain itu,  diinformasikan bahwa jarak tanam dengan susunan selang-seling memberikan redaman yang lebih baik dibandingkan dengan susunan kolom baris.  Selanjutnya diinformasikan pula bahwa rumpun bakau (Rhizophora)  memantulkan,  meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang ketika menjalar melalui rumpun tersebut (Thaha, 2001 dalam Istiyanto, Utomo dan Suranto, 2003).   Hasil ini dipertegas oleh penelitian Pratikto et al. (2002) di Teluk Grajagan, Banyuwangi yang menunjukkan bahwa keberadaan ekosistem mangrove di daerah tersebut mampu mereduksi energi gelombang sebesar 73 % dan tinggi gelombang sebesar 75 % pada jumlah pohon sekitar 120 individu.

Fakta menunjukkan bahwa tsunami tidak memberikan kerusakan yang berarti pada daerah yang memiliki hutan pantai dan hutan mangrove yang lebat di NAD dan Nias,  sedangkan kerusakan berat terjadi pada daerah yang tidak memiliki hutan mangrove dan hutan pantai yang baik (Onrizal, 2005).  Desa Moawo dan Desa Pasar Lahewa yang terletak di pantai utara Nias merupakan contoh daerah yang selamat dari terjangan tsunami.  Kedua daerah tersebut memiliki hutan mangrove yang sangat rapat,  dimana kerapatannya sekitar 17.000 – 20.700 individu per hektar untuk tumbuhan mangrove berdiameter > 2 cm dan tinggi > 1,5 m dengan lebar mangrove antara pemukiman dan pantai sekitar 200 m atau lebih.  Masyarakat di kedua desa tersebut meyakini bahwa desa mereka selamat dari tsunami karena terlindung oleh hutan mangrove meskipun pada saat tsunami rumah mereka terendam air sekitar 2 – 3 m namun airnya tenang.  Pada sisi lain daerah Manrehe dan Sirombu di pantai barat Nias yang daerahnya telah dikonversi menjadi kebun kelapa dengan jarak tanamnya sekitar 6 x 6 m dan berupa lahan kosong;  kerusakannya sangat berat.  Hasil survey WI-IP (2005) dalam Onrizal (2005) mengemukan bahwa di NAD kerusakan berat terjadi pada pesisir pantai yang tidak memiliki hutan mangrove dan hutan pantai yang rapat,  namun kerusakan sangat sedikit pada daerah yang memiliki hutan pantai dan hutan mangrove yang lebat.  Salah satu contoh adalah desa Ladang Tuha, Aceh Selatan yang selamat dari terjangan tsunami karena memiliki hutan pantai yang didominasi oleh pohon cemara yang lebat.

(3). Menyerap dan mengurani bahan pencemar (polutan) dari badan air baik melalui penyerapan polutan tersebut oleh jaringan anatomi tumbuhan mangrove maupun menyerap bahan polutan yang bersangkutan dalam sedimen lumpur (IUCN & E/P Forum, 1993).
Kemampuan vegetasi mangrove dalam menyerap bahan polutan (dalam hal ini logam berat) telah dibuktikan oleh Darmiyati et al. (1995), yang mana jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap lebih dari 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, dan 15 ppm Cu.  Begitu pula Saepulloh (1995) membuktikan bahwa pada daun Avicennia marina ditemukan akumulasi Pb sebesar ³ 15 ppm, Cd³ 0,5 ppm, dan Ni ³ 2,4 ppm.

(4). Mempercepat laju sedimentasi yang akhirnya menimbulkan tanah timbul sehingga daratan bertambah luas.
Hasil analisis sedimentologi menunjukkan bahwa pada habitat Rhizophora spp. dan Avicennia spp. kandungan lumpur mencapai 61 %, sedangkan sisanya berupa pasir dan kerikil (Sediadi, 1990).  Selanjutnya Suryana (1998) melaporkan bahwa tanah timbul di pantai utara pulau Jawa hanya dijumpai didepan hutan mangrove dengan fenomena semakin lebar mangrove semakin lebar pula tanah timbulnya dengan perimbangan ratio rataan sekitar 5 m tanah timbul per 1 m lebar mangrove.

(5)       Mengendalikan intrusi air laut
Fungsi ini terjadi melalui mekanisme sebagai berikut :

a)      Pencegahan pengendapan CaCo3 oleh badan eksudat akar.
b)      Pengurangan kadar garam oleh bahan organik hasil dekomposisi serasah.
c)      Peranan fisik susunan akar mangrove yang dapat mengurangi daya jangkauan air pasang ke daratan.
d)     Perbaikan sifat fisik dan kimia tanah melalui dekomposisi serasah.

Hilmi (1998) melaporkan bahwa percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta meningkat drastis dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 m menjadi 4,24 km pada lokasi tanpa hutan manrove.  Secara teoritis diperkirakan percepatan intrusi air laut meningkat 2 – 3 kali pada lokasi tanpa hutan mangrove.
Share this article :
 
Support : PT Fin Komodo Teknologi | Creating Website | Dewa Yuniardi | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2012 - 2015. Kehutanan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger