Masalah hangat dunia yang terkait dengan issu lingkungan saat ini
adalah masalah pemanasan global dan perubahan iklim dunia dimana pada
tanggal 3 -14 Desember 2007 Indonesia menjadi tuan rumah KIT dunia
tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh
PBB. Serentak pula masyarakat Indonesia menyambutnya dengan gerakan
penanaman 10 juta pohon. Pembangunan hutan mempunyai peran yang penting
dalam kaitannya dengan issu ini.
Pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi yang
disebabkan oleh kenaikan intesitas efek rumah kaca (ERK). Efek rumah
kaca terjadi karena meningkanya gas-gas rumah kaca (GRK); seperti uap air CO2 Ozon, NfO, CFC dan dengan
meningkatnya GRK radiasi sinar inframerah dan radiasi lain dari bumi
yang semula lepas ke angkasa luar terperangkap oleh GRK yang menyebabkan
peningkatan suhu permukaan bumi. Sekitar 50 % pemanasan global
disebabkan oleh CO2, dimana emisi CO2 disebabkan oleh penggunaan bahan bakarfosil dan kerusakan/pembakaran hutan.
Proses di alam yang dapat mengubah CO2 menjadi bahan organik dan O2
hanya tumbuhan melalui proses fotosintesis, sehingga penanaman dan
pertumbuhan pohon merupakan salah satu harapan untuk mengurangi
pemanasan global dengan memperbanyak penanaman pohon terutama tanaman
pohon cepat tumbuh. Adanya O2 di atmosfer benar-benar karena adanya tumbuhan, sementara O2 adalah lambang kehidupan.
Disamping itu pohon dan hutan menyimpan CO2 dalam bentuk
biomassa, serasah dan humus. Hampir 50 % biomassa hutan adalah berupa C,
jika rata-rata hutan tropika kita mempunyai biomassa 400 ton/ha, maka
dia menyimpan 200 ton C/ha. Jadi disamping menyimpan C, pohon yang
sedang tumbuh juga menyerap CO2 dan sebagian besar disimpan dalam bentuk biomassa. Oleh karena itu dalam Kyoto Protokol salah satu cara mengurangan emisi CO2
di atmosfer dengan mekanisme fleksibel yaitu negara maju emitor C dapat
memberikan kompensasi kepada negara berkembang yang mau menanam dan
menjaga hutannya (perdagangan karbon).
Penanaman pohon dalam pembangunan hutan jelas merupakan salah satu
usaha penyerapan CCh yang dapat mengurangi ERK. Penanaman dengan jenis
cepat tumbuh dan dalam daur tertentu dipanen dan ditanami kembali,
apalagi jika produk hasil kayu yang diperoleh digunakan untuk barang
awet (plywood, kayu konstruksi dan kayu serpih) maka penyerapan dan
penyimpanan CCh akan berlipat lebih tinggi dibandingkan hutan alam,
karena hutan alam yang sudah klimaks tidak banyak menyerap CO2 lagi. Mekanisme ini hendaknya juga dapat menjadi salah satu mekanisme fleksibel dalam perdagangan karbon.
Jika pembangunan huatan dengan menanam jenis cepat tumbuh Acacia mangium, dengan riap pada umur 10 tahun sebesar 43, 9 m3/ha/tahun (Alrasyid, 1984) atau riap diameter batang A. mangium diperkirakan
2 cm/th/pohon, pada umur 10 tahun setiap ha terdapat 500 pohon dengan
diameter mencapai 20 cm dan tinggi dapat mencapai 10m, dengan angka
bentuk pohon 0,7, maka volume per pohon mencapai sekitar 0,94 m3/pohon atau untuk 500 pohon/ha mencapai 469 m3/ha. Jika massa jenis A. mangium rata-rata 600 kg/ m3, maka biomassa A. mangium tersebut
mencapai 281.400 kg atau 281,4 ton. Jika kadar C dalam biomassa sebesar
50 % maka kadar C yang tersimpan dalam biomassa tersebut sebanyak 140,7
ton atau 516,4 ton CO2/ha. Jika tiap tahun hutan tersebut dapat menanam 1000 ha saja maka selama 10 tahun CO2 yang disimpan dalam bentuk biomassa sebanyak 0,52 juta ton CO2.
Saat ini telah banyak penelitian kandungan biomassa di hutan tanaman
di Jawa dan di Luar Jawa, baik dengan pengukuran langsung (panen) maupun
dengan cara allometrik. Rusolono (2006) mendapatkan data biomassa hutan
sengon murni sebesar 162,4 ton/ha, dan hutan sengon campuran sebesar
147,6 ton/ha
di Jawa. Ismail (2005) untuk hutan Acacia di PT. MHP (pada diameter
pohon 5,6-13,1) diperoleh data biomassa sebesar 14,86 ton/ha. Langi
(2007) untuk tegakan cempaka dan wasian (Elmerrillia sp.) di Sulawesi Utara melaporkan nilai biomassa masing-masing sebesar 299,85 ton/ha dan 254,83 ton/ha.
Sebagai ilustrasi, Soemarwoto (1991) melaporkan bahwa untuk menyerap kembali CO2
yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil batubara dalam
pembangkit tenaga listrik PLTU 100 MW diperlukan hutan tanaman
Eucalyptus seluas 14.000 ha.
Da Silva et. al. (1999) telah melakukan pengukuran biomassa dan akumulasi hara di hutan Eucalyptus grandis (untuk
tujuan pulp dan kertas) di Brazil pada 45 contoh kayu berumur 3. 5 dan 7
tahun yang mempunyai jarak tanam 3×2 m. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa akumulasi hara lebih banyak terjadi pada umur antara 3-5 tahun
yaitu sebesar 223 %. sedangkan umur 5-7 tahun kenaikan akumulasi hara
hanya 20 %. Persaingan antara pohon kemungkinan menjadi alasan penurunan
tersebut. Jumlah hara Ca, K dan P naik dari tahun ketiga ke tahun
ketujuh, sementara N dan Mg turun setelah tahun kelima. Laju akumulasi
biomassa pada kulit lebih rendah dibandingkan dengan laju akumulasi pada
kayu untuk semua umur. Data akumulasi hara dan biomassa pada kayu di
hutan Eucalyptus grandis pada umur 3, 5 dan 7 tahun dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Akumulasi hara dan biomassa kayu pada tegakan hutan Eucalyptus grandis pada umur 3, 5 dan 7 tahun
Umur (tahun) | Akumulasi hara (g) | Biomassa (kg) | ||||
N | P | K | Ca | Mg | ||
3 | 44.5 | 5.5 | 43.9 | 44.9 | 11.7 | 38.8 |
5 | 78.5 | 10.6 | 56.0 | 87.0 | 28.5 | 88.8 |
7 | 78.1 | 18.4 | 67.1 | 107.9 | 23.2 | 106.8 |
Lasco et al. (2004) melaporkan bahwa riap biomassa dan karbon pada tegakan hutan tanaman yang cepat tumbuh (Paraserianthes falcataria dan Gmelina arborea) semakin kecil dengan semakin meningkatnya umur dan relative lebih besar daripada hutan alam (Tabel 2).
Tabel 2. Riap rata-rata tahunan (MAI) biomassa dan karbon di hutan tanaman di Mindanao, Filipina.
Jenis | Umur (tahun) | Biomassa MAI (ton/ha/lh) | CMAI (ton C/ha/th) |
Paraserianthes falcataria 1 | 4 | 20.20 | 7.82 |
P. falcalaria 2 | 5 | 11,20 | 6.80 |
P falcalaria 3 | 7 | 8,40 | 6.20 |
7 | 2,20 | 0.52 | |
P falcalaria 4 | 9 | 5,30 | 5,41 |
9 | 3,70 | 1,44 | |
Gmelina arborea 1 | 7 | 11,30 | 5,51 |
G. arborea 2 | 9 | 10,50 | 4,37 |
G. arborea 3 | 9 | 9,60 | 4,32 |
Swietenia macrophylla | 16 | 19,60 | 7,33 |
Hutan alam | 100 | 4,90 | 1,19 |
Sementra biomassa di atas tnah dan kerapatan karbon hutan di Filipina dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Biomassa di atas tanah dan kerapatan karbon hutan di Filipina
Tipe Hutan | Umur (th) | Kadar C (%) | Kerapatan biomassa (ton/ha) | Kerapatan karbon (ton/ha) | Lokasi |
Hutan Alam: | |||||
Hutan Lindung Primer | 50 | 370-520 | 165-260 | Makiling | |
Hutan Sekunder | 44,6 | 465,9 | 207,9 | Makiling | |
Semak Belukar | 45,4 | 63,8 | 29,0 | Makiling | |
Hutan Tanaman : | |||||
Gmelina arborea | 9 | 45,0 | 120,7 | 54,3 | Mindanao |
Paraserianthes falcataria | 9 | 45,0 | 108,2 | 48,7 | Mindanao |
Acacia auriculiformis | 9 | 45,0 | 42,5 | 19,1 | N. Ecija |
Tectona grandis | 13 | 45,0 | 22,3 | 10,0 | N. Ecija |
Pinus kesiya | 13 | 45,0 | 107,8 | 48,5 | N. Ecija |
Eucalyptus pellita | 4 | 45,0 | 34,0 | 15,3 | N. Ecija |
Dipterocarpaceae | 80 | 45,0 | 132,3 | 59,0 | Makiling |
Alang-alang | 44,5 | 20,1 | 8,9 | ||
Agroforestry : | |||||
Kelapa + Kopi | 44,0 | 99,2 | 43,6 | Makiling | |
Coklat + Narra | 44,0 | 191,6 | 84,3 | Makiling |